Penulis : M Rodhi irfanto
terbuka, ilmiah dan bisa diperdebatkan Cp
081283222280 FB : M Rodhi irfanto
Red(policewatch.news),- Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari,
Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah putra ulama besar Perguruan Islam
dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis
keturunan dengan Syekh Jamaluddin
Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika
ditarik dan dilihat dari silsilah keturunan, Syekh Hasanudin atau Syekh Quro
masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina Ali r.a., menantu
Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana
( Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro ). Selain itu Syekh Hasanudin atau
Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke– 4 Amir
Abdullah Khanudin.
Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan
kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz
dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, penerbit Madawis, Edisi Tahun 2014 adalah
sebagai berikut :
2. Fatimah Az-zahra
3. Husein As-shibti
4. Ali Zaenal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Jakfar As-Shodiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad An-Naqib
9. Isa Ar-Rumi
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidhillah
12. Alwi Al Awwal
13. Muhammad Shohibus Souma'ah
14. Alwi Atsani
15. Ali Kholi' Qosam
16. Muhammad Shohib Marbat
17. Alwi Ammul Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdullah Amir Khan
20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
22. Syekh Yusuf Siddiq
23. Syekh Hasanuddin/Maulana
Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan
***Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di
Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun
1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun
1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di
Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik
oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki
Gedeng Tapa.
Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah
untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada
Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan
sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau
rakyat Cirebon.
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin
untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui
oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi
Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan
kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi
penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon,
maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh
Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di
Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan
oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja
Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran
Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang
menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”.
Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri
atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech
Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran
Agama Islam.
Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit
kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng
Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang
bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin atau
Syekh Mursahadatillah ke Malaka.
Keberadaan di Karawang
Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan
Bunut Kertayasa ( Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang
Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ). Di Karawang dikenal sebagai Syekh Quro
karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang
bersuara merdu. Sumber lain mengatakan bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya
di Karawang pada 1418 Masehi dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang
diutus Kaisar Tiongkok Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming).
Laksamana Cheng Ho |
Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan
dengan raja-raja tetangga Tiongkok di seberang lautan. Armada tersebut membawa
rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang
hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang
muslim, permintaan Syekh Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya
dikabulkan. Syekh Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem
Karawang, sedangkan armada Tiongkok melanjutkan perjalanan dan berlabuh di
Pelabuhan Muara Jati Cirebon.
Di Kabupaten Karawang pada
tahun 1340 Saka (1418 M) didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan
Bunut Kertayasa,
Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi nama Pondok Quro
yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab
Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain : Syekh Abdul
Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian
menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang
putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang.
Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam
menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom
alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari
Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh
Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan dia
mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak
dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup
ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti : Syekh Abdul Rohman
dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke
bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan,
dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang
bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan
menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid
Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut
bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang
tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang
sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt.
Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur
Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.
Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya
Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa
Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syech Quro
berwasiat kepada santri – santrinya berupa : “Ingsun Titip Masjid Langgar
Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.
Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo
Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong.
Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh
Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada
tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin
alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon,
untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.
Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa
Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan
Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke
tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota
Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada
tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa
Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh
Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh
keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk
diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik
tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya.
Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan
masuk Islam.
Raden Pamanah Rasa Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) |
Berita tentang dakwah Syekh Hasanuddin (yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar
kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro
melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon.
Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang
bernama Raden Pamanah Rasa untuk
menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat
tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai
Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran
bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya
untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk
memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan
syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu
simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang
Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang
juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada
yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah
Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat
di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro
sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang
putra yang bernama :
1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau
Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).
2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada
tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).
3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun
1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).
Ketika anak–anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa
telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syekh
Quro, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa
itu ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam
ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syekh Nurjati Cirebon.
Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon,
maka ketiga anak–anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberi
tugas oleh Syek h Nurjati Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan
Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas
menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke
wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya
Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan
terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.
Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka
Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan
perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech
Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid. Setelah
selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakanya Nyi Mas Rara Santang yang
bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu
di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah
dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif
Abdullah.
Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya
Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon,
sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke
negeri Mesir.
Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan
Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil
dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau
Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :
1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka
atau tahun 1450 Masehi ).
2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau
tahun 1453 Masehi ).
Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir
diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya
yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama Islam dari
ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada
tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya
pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam
dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng
Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau Pangeran
Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).
Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut
baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden
Walasungsang yang merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden
Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau
Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan
bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi
Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke
Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati
Cirebon.
Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron
Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan –
wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti
di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat
mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi
akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan
perbuatannya itu.
Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang
kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat
malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan
kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa
mendatangi orang-orang yang beragama Budha.
Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih
dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari dia untuk bekal usahamu itu.
Ikutilah petunjuk dia, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang
tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syech Quro di
Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran
Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak,
datanglah kepada dia terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus
saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.
Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua
macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu,
engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at, hakikat,
tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang
Islamiyah”.
Waktu terus berganti, ketika Syekh Nurjati meninggal dunia maka
pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syekh Nurjati Cirebon
yang bernama Syekh Datuk Khafid.
Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid
sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan
atau dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan
Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah
diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.
Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah
ternyata berkembang pesat, banyak santri–santri di luar Cirebon untuk bersantri
atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala
Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya
sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.
Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi
gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah
memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah dengan Nyai
Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif
Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :
1. Ratu Wulung Ayu.
2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa
dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun
sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas
kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini
diambil dari kata " Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta
" yang berarti dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan.
Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk
menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo.
Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat
dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak,
Majapahit, dan Cirebon.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja
terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tiongkok. Selir Tiongkok
ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang
permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa
memberikan selir Tiongkok kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati
Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tiongkok dinikahi Arya
Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).
Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan penting.
Pelabuhan Caravam yang sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda tampaknya terus
berperan hingga masa Islam. Salah satu situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syekh Quro. Menurut
tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syekh Quro
adalah Syekh Qurotul Ain
Keterkaitan
Syekh Quro dengan Syekh Nurjati
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh
Quro dan Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi adalah sama-sama
saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro
datang terlebih dahulu ke Amparan Jati pada tahun 1338 Saka atau pada tahun
1416 Masehi.
Pada saat pendaratannya yang kedua di Karawang Syekh Quro datang
ke Karawang bersama para santrinya yakni Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana
Madzkur, dan Nyai Subang Larang yang ikut berlayar bersama rombongan dari
angkatan laut Tiongkok dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo
(Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam
Po Tay Kam. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak
melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan.
Ketika armada tersebut sampai di Pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Quro
(Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal
dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai
tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat.
Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Selain itu pada masa
hidupnya antara Syekh Quro dan Syekh Nurjati menjalin persahabatan sampai
sekarang ini diantaranya yaitu :
1. Syekh Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yang
bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pasambangan untuk menjalin persahabatan.
2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng Karawang ) atau istrinya
Syekh Quro Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah
masjid di Gunung Sembung ( Nur Giri Cipta Rengga ) yang bernama Masjid Dog
Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.
3. Syekh Abdiulah Dargom alias Syekh Darugem alias Syekh Bentong
dan Syekh Bayanullah ( Adiknya Syekh Nurjati Cirebon ) setelah menunaikan
ibadah haji, mereka ( Syekh Bayanullah dan Syekh Bentong ) mendirikan Pesantren
Quro di Desa Sidapurna Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang.
4. Cucunya Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yang bernama
Musanudin, kelak Musanudin menjadi Lebai atau pemimpin Masjid
Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada masa pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan
Gunung Jati Cirebon. Sedang Syekh Ahmad itu sendiri merupakan anak dari Syekh
Quro Karawang dengan Ratna Sondari putri Ki Gedeng Karawang.
5. Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan
oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Sejarah Penemuan Makam Syekh Quro
tempat ziarah Syekh Quro dan Syekh Bentong |
--Keberkahan makam Syekh Quro tak lepas dari riwayat
penemuannya yang menakjubkan. Juru kunci makam, Habib Rista menceritakan, pada
abad ke-17 terdapat seorang yang bernama Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias
Penganten Sambri.
Beliau keturunan Munding Kawangi dari leluhurnya Kerajaan
Galuh Pakuan, Pajajaran. Dia diminta oleh Kesultanan Cirebon untuk mencari
tempat maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro.
Atas perintah itu, Raden Somaredja pun pergi dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke dusun Citeurep. Tujuannya untuk menemui pangeran Sake turunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.
Atas perintah itu, Raden Somaredja pun pergi dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke dusun Citeurep. Tujuannya untuk menemui pangeran Sake turunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.
Raden Somaredja lantas menceritakan maksud dan tujuannya. Di
tempat itulah, Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke
daerah Karawang hingga sampailah di Kuta Tandingan.
Di lokasi itu Raden Somaredja bertemu dan disambut baik oleh
Eyang Sarpi. Karena Raden Somaredja orang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang
Sarpi diangkat menjadi menantu. Dia dinikahkan dengan salah seorang putri
angkatnya yang bernama Nyai Anisa.
Pernikahan Raden Somaredja dengan Nyai Anisah dikaruniai
tiga putra yaitu, Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias
Mian, Raden Suryawidjaya alias Embeh. Mereka yang kemudian mewariskan para
pemimpin Desa Pulo Kalapa dan pengurus makam Syekh Quro.
Semenjak memiliki putra pertama Raden Suryaredja alias
Dji’in, sapaan Raden Somaredja berubah menjadi Ayah Dji’in. Sementara istrinya,
Nyai Anisah disebut Ma Ini. Sebagai mertua, Eyang Sarpi mengingatkan Raden
Somaredja agar segera melanjutkan perjalanannya.
Tak lama kemudian, Somaredja beserta keluarga dan para pengawalnya melanjutkan perjalanan ke daerah Karawang sebelah Utara hingga sampai ke salah satu perkampungan yang disebut Pulo Kalapa. Tahun 1850 rombongan Somaredja tiba di sana yang kala itu masih rawa-rawa belantara. Di lahan itulah selajutnya Raden Somaredja mengolahnya menjadi lahan pertanian yang subur.
Tak lama kemudian, Somaredja beserta keluarga dan para pengawalnya melanjutkan perjalanan ke daerah Karawang sebelah Utara hingga sampai ke salah satu perkampungan yang disebut Pulo Kalapa. Tahun 1850 rombongan Somaredja tiba di sana yang kala itu masih rawa-rawa belantara. Di lahan itulah selajutnya Raden Somaredja mengolahnya menjadi lahan pertanian yang subur.
“Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut, ada sesuatu
yang aneh di suatu lahan. Di tanah timbul selalu banyak binatang-binatang buas
dan berbisa seperti ular, harimau dan sebagainya,” kata juru kunci makam Habib
Rista.
Bahkan, saban malam Raden Somaredja senantiasa menyaksikan cahaya yang bersinar di tanah timbul itu. Para pengikutnya tak urung jatuh sakit saat membuka lahan tersebut. Penasaran, Raden Somaredja lantas berniat mencari tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi di sana.
Sejak mempunyai niatan tersebut, di setiap tidurnya Raden Somaredja kerap bermimpi melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih yang tengah bertawasul dan berzikir kepada Allah SWT sembari memegang tasbih. Mimpi ini hadir hingga tiga kali, menghiasi tidur Somaredja. Raden Somaredja pun lantas melakukan istiqomah, dengan hati yang tulus dan ikhlas memohon petunjuk dari Allah SWT.
Somaredja mengawali langkah istikomahnya dengan melantunkan azan terlebih dahulu di tempat tersebut. Namun, mendadak ada yang menyahutnya. Pun saat Somaredja selesai bertawasul dan membaca salam, sahutan kembali muncul.
“Ketika dilihat, di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang disebut Kramat Pulobata,” ujarnya.
Bahkan, saban malam Raden Somaredja senantiasa menyaksikan cahaya yang bersinar di tanah timbul itu. Para pengikutnya tak urung jatuh sakit saat membuka lahan tersebut. Penasaran, Raden Somaredja lantas berniat mencari tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi di sana.
Sejak mempunyai niatan tersebut, di setiap tidurnya Raden Somaredja kerap bermimpi melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih yang tengah bertawasul dan berzikir kepada Allah SWT sembari memegang tasbih. Mimpi ini hadir hingga tiga kali, menghiasi tidur Somaredja. Raden Somaredja pun lantas melakukan istiqomah, dengan hati yang tulus dan ikhlas memohon petunjuk dari Allah SWT.
Somaredja mengawali langkah istikomahnya dengan melantunkan azan terlebih dahulu di tempat tersebut. Namun, mendadak ada yang menyahutnya. Pun saat Somaredja selesai bertawasul dan membaca salam, sahutan kembali muncul.
“Ketika dilihat, di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang disebut Kramat Pulobata,” ujarnya.
Makam Syehk Quro |
Atas temuan itu, Raden Somaredja langsung melapor ke keraton
Cirebon sekaligus mengundang saksi atas temuan itu. Sesuhunan Cirebon lantas
mengutus juru kunci Astana Gunung Jati yakni Kyai Talka atau Kyai Tolakoh untuk
segera pergi ke tempat temuan Raden Somaredja.
Sesampainya di Pulobata, Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja masih menjumpai cahaya itu. Terlihat pula oleh keduanya seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir. Saat keduanya mengucapkan salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab seraya memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan membawa keberkahan untuk semuanya." Setelah itu, bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud.
Waktu itu bertepatan pada ahri Jum’at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Ruwah atau Sya’ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itulah Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan temuan tersebut ke kesultanan Cirebon.
Para ulama Kraton Cirebon lalu berkunjung ke tempat itu untuk melakukan istighosah bersama. Mereka bersepakat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Di tempat itulah lantas diberi tanda dengan membawa Batu Jahul atau batu nisan dari Cirebon. Makam yang terletak di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang ini salah satu yang ramai dikunjungi peziarah.
Sesampainya di Pulobata, Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja masih menjumpai cahaya itu. Terlihat pula oleh keduanya seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir. Saat keduanya mengucapkan salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab seraya memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan membawa keberkahan untuk semuanya." Setelah itu, bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud.
Waktu itu bertepatan pada ahri Jum’at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Ruwah atau Sya’ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itulah Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan temuan tersebut ke kesultanan Cirebon.
Para ulama Kraton Cirebon lalu berkunjung ke tempat itu untuk melakukan istighosah bersama. Mereka bersepakat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Di tempat itulah lantas diberi tanda dengan membawa Batu Jahul atau batu nisan dari Cirebon. Makam yang terletak di Dusun Pulobata, Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang ini salah satu yang ramai dikunjungi peziarah.
Referensi
1. Syehk Quro
Karawang Disparbud Prov. Jabar
2. Biografi Syekh
Nurjati IAIN Cirebon
3. Sejarah Makam
Syekh Quro Lemah Gandu
4. Biografi Syekh
Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum.
2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan.
Cirebon : Zulfana Cierbon