Ratusan Wanita menjadi Janda dan Kemungkinan Ribuan Anakpun Menjadi Yatim
Oleh : M Rodhi irfanto |
Red (policewatch.news) - Bibir Tri Widatani mendadak kaku, mulutnya sulit
berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Berulang kali Tri mengarahkan pandangan ke
atas sambil menghela nafas. Dia tak ingin air matanya tumpah, Suasana duka masih menyelimuti wajah Tri dengan jelas. Senyum di wajahnya hanya
terlihat sesekali, itu pun ketika ia menengok ke arah putri semata wayangnya
yang duduk di sebelah, Dua pekan lebih Tri ditinggal suaminya, Hanafi, yang pergi menghadap Tuhan Yang
Maha Esa pada 18 April lalu. Baginya, kejadian itu sangat mengagetkan karena
Hanafi tidak memiliki rekam jejak penyakit yang serius, Hanafi meninggal dunia sehari setelah menjalani tugas bersama Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lingkungan tempat tinggalnya, Hal yang sama pun banyak terjadi di berbagai sudut nusantara ini, Ratusan wanita menjadi janda dan Ratusan anak-anak bahkan mungkin Ribuan anak yang menjadi Yatim , mereka kehilangan sosok Ayah dan suami yang gugur dalam tugas pelaksanaan Pemilu tahun ini," Derai air mata keluarga mengiringi pemakaman mereka para petugas KPPS,PANWASLU juga Petugas lainnya, dalam Pemilu 2019 yang digelar secara serentak yang memakan banyak korban jiwa, Banyaknya petugas yang meninggal dunia adalah masalah yang serius, Penyelenggaraan Pemilu seharusnya berintegritas dan tak
memakan korban apalagi sampai Ratusan Jiwa.
"Sekecil apa pun enggak boleh ada korban dan enggak boleh ada kecurangan.
Sekecil apa pun, nol koma nol koma pun enggak boleh,"Kan, ada pepatah yang mengatakan karena nila setitik
rusak susu sebelanga.
Nah coba sekarang ini dengan banyak yang meninggal
kemudian ada hitungan yang salah input, itu menunjukkan tidak well organized
penyelenggaraan pemilu kita," saya berharap kejadian pahit dalam penyelenggaraan pemilu sekarang
menjadi pelajaran bagi pemerintah ke depan.
Aturan-aturan yang dianggap berdampak buruk harus segera
direvisi."Ke depan baiknya betul-betul harus ada pemikiran untuk
menata kembali sistem recruitment, menata kembali sistem electoral
management-nya, menata kembali sistem election-nya," Apalagi, pada 2024 pemerintah berencana menggelar
Pilpres, Pileg dan Pilkada secara serentak.
Jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang
meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara keseluruhan petugas yang meninggal mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri
Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak
440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang.
Jumlah itu bertambah dari hari sebelumnya yaitu 424 orang. Begitu pula dengan petugas yang sakit juga bertambah dari hari sebelumnya yang mencapai 3.668 orang, Jumlah korban meninggal tersebut bukanlah angka yang kecil. Apalagi bila ditambah korban serupa dari organisasi lain yang juga terlibat dalam rantai pelaksanaan pemilu 2019.
Kelelahan yang berlebihan diduga menjadi penyebab kematian
para ujung tumbak pelaksanaan pemilu 2019 ini. Kelelahan mereka memang tak
hanya fisik tapi juga psikis, Bisa dibayangkan. Petugas KPPS sesungguhnya sudah mulai
bekerja sejak satu bulan sebelum pemilu dilaksanakan. Mereka mengikuti
bimbingan teknis dalam beberapa pertemuan.
Selanjutnya mereka harus memastikan seluruh logistik pemilu
tersedia. Berikutnya sudah menunggu tugas mempersiapkan lokasi pemungutan
suara. Berikutnya, memastikan pencoblosan berlangsung secara tepat waktu.
Di hari yang sama KPPS harus menyelesaikan tugas
penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing. Bila
dihitung, petugas KPPS bisa jadi bekerja lebih dari 24 jam. Tidak mustahil bila
mereka semua mengalami kelelahan fisik yang berlebihan.
Tekanan psikis juga pasti terjadi. Sebanyak tujuh orang KPPS
dalam satu TPS mempunyai preferensi politik yang tidak sama. Di antara mereka,
bisa dipastikan saling mengawasi.
Begitu pun keberadaan saksi, dari para kontestan pemilu,
yang tak jarang melakukan hal-hal yang intimidatif. Mereka menginginkan KPPS
nihil dari kesalahan, dalam melaksanakan tugasnya.
Kesalahan di sengaja atau tak disengaja, karena kelelahan fisik, misalnya
keliru memasukkan hitungan dalam tabel perhitungan suara, bisa dituding
macam-macam. Dianggap tidak independen, berpihak pada pihak tertentu, atau
bahkan dituduh sebagai orang bayaran untuk memenangkan salah satu pihak.
Banyaknya korban meninggal dalam pelaksanaan pemilu 2019
ini, mengilhami beberapa pihak untuk mendesak KPU melakukan evaluasi. Bahkan
wacana evaluasi tersebut mengerucut ke arah kembali memisahkan pemilu
legislatif dengan pemilu presiden.
Evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu serentak yang
menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden ini memang penting. Tapi
melakukan evaluasi pada saat ini, ketika semua tahapan pemilu belum selesai,
tentu tidaklah tepat waktu.
Berikan waktu kepada KPU untuk menyelesaikan tugas
pelaksanaan pemilu sesuai tahapannya. Menyelesaikan penghitungan suara,
penetapan suara dan kursi untuk legislatif, penetapan presiden terpilih,
pelantikan legislatif, hingga pelantikan presiden.
Saat ini yang paling dibutuhkan adalah memastikan korban
yang meninggal terkait pelaksnaan pemilu 2019 mendapatkan jaminan. Mereka layak
disebut pahlawan demokrasi, karena mendedikasikan dirinya untuk tegaknya
demokrasi di Indonesia.
KPU harus segera membuat keputusan untuk memberikan santunan
yang layak bagi keluarga para pahlawan demokrasi tersebut. Juga terhadap korban
yang saat ini masih dirawat di rumah sakit, KPU harus memastikan mereka
mendapat jaminan perawatan secara cuma-cuma.
Tidak perlu ada dalih belum bisa memastikan atau menunda
jaminan perawatan gratis karena para korban tidak memiliki kartu BPJS.
Ketua KPPS memang mendapat honor Rp550 ribu dan anggota KPPS
Rp500 ribu, namun tanpa asuransi. Honor tersebut tentu saja sangat tidak
sebanding dengan kelelahan dan risiko yang mereka terima.
Sudah selayaknya kita menyampaikan rasa duka yang mendalam
atas meninggalnya para pahlawan demokrasi tersebut. Dan berharap korban tidak
terus bertambah.
Kita juga sangat menyesalkan beberapa pihak yang tidak
berempati, bahkan terus menyalahkan para ujung tumbak pelaksanaan pemilu 2019
itu dengan tudingan berlaku curang.
Terkait wacana evaluasi pemilu serentak, sebaiknya jangan
dulu berfokus pada mengembalikan pemilu ke sistem lama, yaitu memisahkan pemilu
legislatif dengan pemilu presiden. Harus dilihat lebih menyeluruh. Dari proses,
pelaksanaan, biaya, sampai hasil yang didapat.
Jatuhnya banyak korban memang harus menjadi perhatian khusus
dalam evaluasi. Namun tidak selayaknya dijadikan alasan tunggal untuk
mengembalikan pemilu dengan sistem lama. Bila pemilu serentak, pilpres dan
pileg disatukan ternyata hasilnya lebih baik, sudah sepatutnya dipertahankan,
tentu saja dengan perbaikan di sana sini.
Mengganti sistem pemilu yang baru pertama dilaksanakan,
justru akan mengkonfirmasi bahwa pemerintah dan DPR tidak memikirkan secara
mendalam ketika memutuskan sebuah sistem pemilu akan dipakai. Padahal sistem
tersebut dibuat dengan kajian, keputusan politik melalui undang-undang, sekian
banyak peraturan dan biaya yang sangat besar.
Penggantian sistem pemilu juga membingungkan dan menimbulkan
pertanyaan masyarakat. Mengapa setiap pemilu harus diubah sistemnya? Apakah
masyarakat akan terus dijadikan kelinci percobaan dalam praktik demokrasi?
Mengurangi jumlah korban dari KPPS, bisa dilakukan
dengan menambah jumlah KPPS dan membagi waktu kerjanya secara sif, agar KPPS
bertugas seperti lazimnya orang bekerja yaitu 8 jam sehari. Rekrutmen terhadap
KPPS juga harus dilakukan lebih memadai, bukan hanya tentang kemampuan, tapi
juga tes terhadap kesehatannya.
Pemilu serentak sebagai sebuah sistem yang baru pertama kali
dipraktikan, memang memunculkan beberapa hal yang belum terantisipasi dengan
baik sebelumnya.
Kerumitan yang dialami pemilih di bilik suara, melipat
kertas suara, sampai memasukkan ke kotak suara, misalnya. Penghitungan
suara di TPS, sampai tudingan kecurangan, hal-hal tersebut tentu bisa dicarikan
solusinya.
Pemungutan suara secara elektronik (e-voting) bisa menjadi
solusi atas berbagai kerumitan yang terjadi, sekaligus mempercepat mekanisme
penghitungan suara.
E-voting sesungguhnya bukan hal yang baru di Indonesia.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah menciptakan alat untuk keperluan
ini. Ada beberapa nilai tambah bila menggunakan e-voting. Semisal, hasil
perhitungan suara terpantau seketika (Real time).
Kemungkinan pemilih ganda juga dapat dicegah, karena
menggunakan otentifikasi dengan NIK KTP elektronik. Proses pemilihan juga
menjadi mudah karena menggunakan layar sentuh. Efisiensi biaya sangat mungkin
terjadi karena sangat minim penggunaan kertas untuk surat suara, kotak suara,
juga formulir pelaporan.
Dana cukup besar dibutuhkan untuk pengadaan alat e-voting
dan mempersiapkan infrastruktur jaringan internet sampai ke TPS. Namun alat
tersebut bisa dipakai berulang dalam berbagai pemilu.
E-voting juga sudah dipakai dalam pemilihan kepala desa
(Pilkades) di beberapa daerah. Sekadar contoh, tahun lalu sebanyak 172 desa di
14 kecamatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah melaksanakan Pilkades serentak,
menggunakan e-voting dengan hasil yang memuaskan.
Mengapa tidak, pemilu serentak 5 tahun mendatang
dilaksanakan dengan e-voting.