Oleh : M Rodhi irfanto
Red, POLICEWATCH,- Masyarakat jawa tengah khususnya siapa yang tidak mengenal Kyai Ageng Selo atau Ki Ageng Ngabdurahman adalah tokoh
spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram. Ia adalah guru Jaka Tingkir atau Sultan
Adiwijaya pendiri Kesultanan Pajang, dan beliau adalah kakek dari Panembahan Senapati
pendiri Kesultanan Mataram. Kisah hidupnya pada umumnya bersifat legenda,
menurut naskah-naskah babad.
Silsilah
Nama asli Ki Ageng Ngabdurahman Selo menurut sebagian masyarakat adalah Bagus
Sogom. Menurut naskah-naskah babad ia dipercaya sebagai keturunan langsung
Brawijaya raja terakhir Majapahit.
Dikisahkan, Brawijaya memiliki anak bernama Bondan Kejawan, yang tidak
diakuinya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa
berputra Ki Ageng Sela.
Ki Ageng Sela memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki
Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan, penguasa pertama
Mataram.
Ki Ageng Sela Sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan
putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng
Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan
"Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three
Musketeers from Mataram".
Disamping itu banyak perintis lainnya yang
dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti :
Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang
dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan,
Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing.
Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar
keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat
terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai
Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan
yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan
masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu :
Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke
6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah
dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang
memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo
beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu
Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan
(Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah
Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah
dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan
Pesantren;
Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang
dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para
Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara
sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan
kerajaan.
Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi
Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi"
sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan
Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di
luar adanya perebutan kekuasaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya
Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya
merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk
mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan
pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus
mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur
untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para
Seikh dan para Wali.
Legenda
masjid ki ageng selo |
Kisah hidup Ki Ageng Sela pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah
babad, yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.
Ada yang berbeda di pintu masuk Masjid Agung Demak. Di sana
terdapat pintu yang dikenal dengan nama Lawang Bledheg (pintu petir)
bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi "Nogo Mulat Saliro Wani",
bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M.
Lawang Bledheg itu dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang
bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng Selo.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja
Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning
melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng.
Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub,
menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus
Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo. Makam ki Ageng selo di desa
Tawang, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan
segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Selo, dengan harapan petir
tidak akan menyambarnya.
“Masyarakat di Jawa, khususnya di pedesaan masih percaya pada mitos ini, bila
terjadi petir berteriak sambil berkata, "Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Selo"
(“Gandrik, Aku cucu Ki Ageng Selo"). Mengatakan kalimat itu sambil
berdiri tegak dengan mengacungkan kepalan tangan ke langit,” ujar juru kunci
makam Ki Ageng Selo, Priyo.
pohon gandrik |
Cerita tentang penangkapan petir itu dituturkan dari mulut ke mulut, dari
generasi ke generasi. Alkisah , suatu hari Ki Ageng Sela yang tinggal di desa
Tawang , Purwodadi, pergi ke sawah.
Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak
lama memang benar-benar hujan lebat turun.
Halilintar atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Tetapi Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng. Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek. Ia segera menangkap petir itu.
“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” kata Ki Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya.
Halilintar atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Tetapi Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng. Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek. Ia segera menangkap petir itu.
“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” kata Ki Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya.
“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga
beserta anak-cucumu,” jawab petir.
Oleh Ki Ageng Selo petir itu kemudian diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa, mereka tidak takut lagi disambar petir jika ke sawah. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.
Ia tetap meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah hari sore, selesai mencangkul dia pulang sambil membawa petir tadi. Keesokan harinya dia ke Demak, “ bledheg “dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak.
Oleh Sultan Trenggono, “bledheg“ ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu.
Oleh Ki Ageng Selo petir itu kemudian diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa, mereka tidak takut lagi disambar petir jika ke sawah. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.
Ia tetap meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah hari sore, selesai mencangkul dia pulang sambil membawa petir tadi. Keesokan harinya dia ke Demak, “ bledheg “dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak.
Oleh Sultan Trenggono, “bledheg“ ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu.
Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air
kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya.
Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang.
Kisah yang menjadi legenda itu masih menjadi tanda tanya sampai sekarang. Kisah itu hanya sekedar dongeng atau sebuah cerita yang mempunyai makna yang tersirat.
Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang.
Kisah yang menjadi legenda itu masih menjadi tanda tanya sampai sekarang. Kisah itu hanya sekedar dongeng atau sebuah cerita yang mempunyai makna yang tersirat.
Diketahui ternyata petir bisa meninggalkan jejak di tanah,
mungkin dalam kisah itu tangkapan Ki Ageng Sela adalah jejak petir yang berupa
batu petir (fulgurites) yang berbentuk seperti akar-akar atau tanaman yang tak
beraturan. Maka, dalam cerita Ki Ageng Sela, dikisahkan bahwa petir bisa diikat
Ki Ageng Sela disebutkan pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak.
Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun ngeri
melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan menolaknya masuk ketentaraan Demak.
Ki Ageng Sela kemudian menyepi di desa Sela sebagai petani sekaligus guru
spiritual. Ia pernah menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang. Ia
kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru
Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Ki Ageng Sela juga pernah dikisahkan menangkap petir ketika sedang bertani. Petir
itu kemudian berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai
tawanan pada Kesultanan Demak. Namun, kakek tua itu kemudian berhasil kabur
dari penjara. Untuk mengenang kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung
Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), dengan dihiasi ukiran
berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir
yang pernah ditangkap Ki Ageng. Bahkan, sebagian masyarakat Jawa sampai saat
ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah
cucu Ki Ageng Sela, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal usul pusaka Mataram yang bernama Bende
Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Sela menggelar pertunjukan wayang
dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang
kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk
merebut Nyi Bicak. Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende
milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende
tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga
Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak
maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila
berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi
pertanda musuh yang akan menang.
Selain pusaka, Ki Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang
dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang
harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian ditulis
para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Sela.
Makam Ki Ageng Selo teletak di Desa Selo, Kecamatan
Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten Grobogan sebagai
obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh
para peziarah pada malam jum'at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar
permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita
yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat jawa umumnya,
diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai-sampai dengan
kesaktiannya ia dapat menangkap petir.
Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat jawa sebagai cikal
bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam Ki
Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan
Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki
Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam
tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api
dari sela dianggap sebagai api keramat.
Legenda dari Makam Ki Ageng Selo :
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini
dianggap sebagai penurun raja-raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai
sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang
makamnya terdapat di Desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan,
adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan,
namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita
tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar
(bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi (Meinama, 1905; Al -
thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu
Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang
anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum
anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan
kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan
kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian.
makam KI Ageng Tarub |
Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng.
Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari
ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama
meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama
Ki Ageng Tarub II.
Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih
melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng
Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela,
Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai
Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Kesukaan Ki Ageng Selo adalah bertapa dihutan, gua, dan
gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia.
Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam.
Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya
adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng
selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja-raja besar yang
menguasai seluruh Jawa.
makam Pangeran Bondan kejawan atau Lembu Peteng |
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu
wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki
Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing
dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal
salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing
kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. (Altholif : 35
- 36).
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela
untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau
Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya
berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka
tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing buri turunku kena
nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ).
Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam
babad :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari
Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan
hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar.
Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak-enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul,
datanglah “bledheg“ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek-kakek. Kakek
itu cepat-cepat ditangkapnya, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia
meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu
dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak.
Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh didalam jeruji besi yang
kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk
melihat ujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan
membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya. Setelah
minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu
lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat
mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang
Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak.
Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende
dan Nyai Bicak diambilnya, “Bende“ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak,
yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram.
Bila “Bende“ tersebut dipukul
dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul
tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang
menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang
mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “kesrimpet“ batang
waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang.
Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak
turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun -
turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh
serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh
orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba (Wanasaba), Nyai Ageng
Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya
putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng
Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas
Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng
Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat
bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru
kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun
lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia
meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M. Atmodarminto, 1955: 1222).
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang
raja-raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki
Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan
Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke
makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam
tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta Api dari
Sela dianggap sebagai keramat.
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan
dengan memakai arak-arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu
dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing-masing. Menurut Shrieke (II :
53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar”. Bahkan
data-data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan
lambang kekuasaan raja-raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes
bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena
adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk
sinar cemerlang.
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti
penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap
misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa-sisa bekas kraton tua
(Reffles, 1817 : 5). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang
berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi.
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit
berapi yang berlumpur, sumber-sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam
bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut.
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro,
Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang
menetapkan bahwa makam-makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap
menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk
dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk
pemeliharaannya. (Graaf, 3,1985 : II).
Daerah enclave sela dihapuskan pada 14
Januari 1902. Tetapi makam-makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara
atas biaya rata-rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.
Makam Ki Ageng Selo, Purwodadi.
Seloin pusaka, Ki Ageng Selo meninggalkan warisan berupa
ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi
larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keSelomatan,
yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali
Ki Ageng Selo.
Makam Ki Ageng Selo terletak di desa Selo Tawang Harjo, Kab.
Grobogan, Prov. Jawa Tengah. Tak Jauh dari makam beliau, terdapat pula makam
kakek buyutnya yaitu Ki Ageng Tarub dan makam ayahandanya yaitu Ki Ageng Getas
Pendawa.
sumber : sejarah, cerita, kitab babat