![]() |
Oleh Noveldi Putra Pratama, SH.C.L.A (Pengacara,Pengamat Politik, Juga Pendiri dan Ketua Umum LBH dan LSM RUDAL ( Reformasi Untuk Keadilan) |
Berseteru di Selimut Nasakom
Red, POLICEWATCH: Dalam suatu kesempatan sebelum
Pemilu 1955, orang orang NU protes
mengapa tanda gambar PKI berupa palu
arit dibubuhi tulisan 'PKI dan orang-orang tak berpartai'?
Hal itu ditanyakan Idham Khalid selaku
wakil NU dalam musyawarah partai partai
bersama Menteri Dalam Negeri.
![]() |
Acara NU di pertengahan tahun 1950-an. |
Idham Khalid berkata, Menurut NU, tanda gambar
atau simbol PKI selama ini Cuma lukisan palu arit.
Tak ada embel-embel kalimat dan orang tak berpartai”.
Lalu dijawab Aidit: “PKI berpendapat bahwa banyak
sekali orang orang yang tak berpartai tetapi
memercayakan politiknya kepada PKI. Karena hasrat yang
mulia itu kami tampung”.
Idham Khalid berkata menukas Aidit, "Tetapi tidak
semua orang yang berpartai simpati kepada PKI. Dengan
menyamaratakan semua orang tak berpartai
seolah-olah simpatisan PKI jelas bahwa ada niat
PKI mencatut nama rakyat bahkan hendak
mengelabui rakyat."
Aidit kemudian menyela, “Saya protes saudara
menuduh PKI mencatut nama rakyat bahkan
mengelabui rakyat.”
Lalu Idham Khalid menjawab: “Protes saudara
saya tolak. Saya sekedar menyatakan kenyataan yang saya
rasakan”. Rekan separtai Aidit, Sudisman ikut berkomentar,
“Darimana saudara merasakan PKI mengelabui rakyat”?
Idham Khalid menjawab, “Dari kenyataan yang ada
dalam masyarakat. Disana banyak juga orang-orang yang tak
berpartai yang bersimpati kepada NU, kepada Masyumi, kepada
PNI dan sebagainya. Kalau terhadap mereka yang
pandangan hatinya berbeda-beda lalu dituntut seolah-olah
mereka ikut PKI semua, apakah ini bukan
mencatut nama rakyat dan mengelabui
mereka”?
Menteri dalam Negeri Mr Sunaryo yang ikut hadir dalam
perbincangan menyela, ”Saya harap saudara Aidit
mengindahkan keberatan pihak lain”.
S Hadikusumo juga menambahkan, “Saya
kira PKI tidak boleh mengikuti kehendak sendiri.
Semua tanda gambar dalam Pemilu harus
diputuskan melalui kebulatan bersama”.
Lalu Aidit menjawab: “Kalau begitu saya
usulkan agar NU juga menambah kalimat ‘NU dan
semua orang Islam’ dibawah tanda gambarnya”.
Mendengan pernyataan Aidit Idham Khalid menjawab,
“Tidak bisa! Bagaimana saya harus
melakukan hal hal yang saya sendiri memprotesnya?
Orang-orang Islam yang tidak berpartai itu hati
kecilnya mempunyai simpati kepada partai tertentu.
Ada yang bersimpati kepada Masyumi, PSII. Perti dan ada
yang kepada PNI maupun IPKI dan sebagainya. Saya tidak
ingin NU mencatut nama orang-orang yang tak
berpartai seolah-olah pro NU semua.”
Karena protes Idham Khalid itu yang kemudian dicatat dalam
memoar KH Saifuddin Zuhri 'Berangkat dari Pesantren', akhirnya kemudian
tanda gambar 'PKI Cuma palu arit dan kalimat dan
orang orang tak berpartai', ditiadakan”. Dan kemudian, usai
pemilu, Tahun 1956 NU meninggalkan kabinet Burhanuddin
Harahap dan mengakibatkan krisis politik sehingga kabinet
jatuh disebabkan tak mampu menghadapi serangan serangan oposisi
yang disponsosri NU dan PNI.
Hal itu membuka kesempatan PKI untuk
ikut nimbrung meramaikan oposisi. Apalagi bisa disebut pada awaktu
itu PKI bukan PKI kalau tidak menggunakan setiap
kesempatan untuk main timbrung, ikut ikutan main
meskipun tidak diharapkan.
Selanjutnya terkait kabinet baru yang
hendak dibentuk, sikap NU memberi syarat kabinet ibaru
tu kecuali mencerminkan kekuatan hasil
Pemilu juga harus mencegah ikut sertanya
PKI dan orang komunis lain yang terselubung
dengan memakai nama organisasi lain.
Ini karena sebenarnya
sejak tahun 1951, NU memperlihatkan sikap
anti komunis, semisal ketidaksetujuannya atas
dibukanya hubungan diplomatik dengan Uni Sovyet dan
RRC.
Pada bulan Desember 1956, Partai
Masyumi melangsungkan Muktamar diBandung dan menelurkan keputusan
untuk menarik dari Kabinet Ali-Roem-Idham dimana
mayoritas kabinet berada dalam partai-partai Islam (Masyumi,
NU, PSII Perti).
Keputusan itu dibacakan Dr Sukiman
dalam sidang DPR pada bulan Januari1957 menyusul
situasi panas di Sumatera.
Adanya keputusan itu, NU kemudian mengambil sikap
seperti diungkapkan Ketua Fraksi NU AA Achsien. Dia
menyatakan bila keputusan Masyumi itu diambil secara
tergesa-gesa.
Kyai Wahab Chasbulah juga menyampaikan,
“Sekiranya saya mengetahui ada niatan untuk
menarik menteri-menterinya saya akan meyakinkan Masyumi
bahwa hal itu amat merugikan perjuangan kita.
Sebagai partai-partai Islam yang mayoritas
dalam kabinet, menjadi tanggungjawab bersama kita memecahkan kemelut
di dalam negeri secara musyawarah”.
Dengan munculnya kondisi seperti itu maka yang paling
diuntungkan adalah PKI. Ini karena selama ini PKI selalu berusaha
menghalang-halangi terciptanya koalisi PNI-Masyumi dalam satu
kabinet.
PKI amat mendendam karena Masyumi dan NU
menghalang-halangi PKI untuk ikut kabinet Ali-Roem-Idham. NU
dan Masyumi selalu menolak setiap move yang
mengarah terwujudnya “kabinet berkaki empat” (PNI-Masyumi-NU-PKI).
Namun kemudian, Presiden Soekarno mewujudkan konsep
“Kabinet kaki empat” dalam rangka pelaksanaan
“demokrasi terpimpin”. Tapi, Masyumi, NU, PSII, Katolik dan PRI
menolak.
Adapun yang menyetujui ialah PKI, Murba, sebagian
PNI, PRN, Persatuan Pegawai Polisi dan Baperki.
Dalam situasi ini, PKI makin merajalela. Mereka terus
melakukan kampanye “pro konsepsi Presiden”. PKI
memperoleh bahan bakar untuk menyalakan api
fitnah dengan peristiwa lahirnya Dewan-dewan yang menyusul
mundurnya Bung Hatta dan kemudian keluarnya Masyumi
dari kabinet.
Dalam situasi ini angkatan bersenjata yang
terdiri dari Mayjen AH Nasution dan komodor
Suryadarma dan Laksanama Muda Subiyakto melakukan
manuver.
Mereka mengusulkan kepada Presiden Soekarno kondisi SOB (Staat
van Oorlog) atau negara dalam keadaan bahaya.
Setelah Ali Sastroamidjoyo menyerahkan mandat kabinetnya
kembali ke Presiden. Sukarno berusaha membujuk Ketua
PNI Suwiryo untuk membentuk kabinet baru. Presiden Sukarno kala itu
menghendaki kabinet kaki empat (PNI, Masyumi, NU dan
PKI).
Namun usaha ini gagal. Presiden Sukarno kelewat
gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya
mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai
unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil dipersatukan”.
Dalam
situasi ini ada respons dari Kiai Wahab Chasbullah. Dia mengatakan,
“Bagaimana politik Nasakom hendak diwujudkan padahal secara
prinsipil Nasionalisme bertentangan dengan komunisme, apalagi
antar agama (terutama Islam)”, kata KH M Dahlan.
![]() |
KH Wahad Hasbulah di depan masa NU pertengahan tahun 1950-an. |
Kiai Masykur juga memberikan tanggapan,
“Yang penting bagaimana agar kita tidak
melakukan politik konfrontatatif dengan Bung Karno yang
sekarang berbeda dan bertentangan dengan PNI, Masyumi dan NU.
Dan hal itu kemudian dikomentari H Zainul
Arifin: “Saya setuju pikiran Kyai Masykur, situasi seperti
sekarang membuat Bung Karno bertindak aneh-aneh dan
ekstrem”.
Kiai Ilyas menambahkan, “Saya
usulkan menghadapi masalah ‘Nasakom’ yang sudah
dimaklumi pendirian kita dengan presiden tidak
bisa dipertemukan, kita ambil sikap seperti dua
orang tuli sedang bermusyawarah, masing masing berbicara
menurut isi hatinya”. Pendapat Kyai Ilyas mengundang
gelak tawa para hadirin.
Akhinya hal paling aneh dalam sejarah ketatanegaraan
terjadi.
Presiden Soekarno menunjuk seorang warga
negara bernama Ir Soekarno untuk menjadi
formatir dalam membentuk “zeken kabinet extra
parlementer darurat”. Ir Juanda ditunjuk
sebagai Perdana menteri dengan dua orang Wakil PM yaitu
Mr Hardi (warga PNI) dan KH Idham Khalid (warga NU) dan
menteri menteri yang berasal dari berbagai partai
dan dipandang ahli.
Dengan kata lain, NU dan PKI ibaratnya seteru atau
musuh meski di bawah satu selimut, yakni Nasakom.