Policewatch-Lombok Tengah.
Sidang kasus dugaan ijazah palsu Lalu Nursa'i di Pengadilan Negeri Praya, Selasa, 14 Januari 2025, tak hanya mengungkap fakta mengejutkan, tetapi juga membuka tabir kejanggalan sistemik dan potensi konspirasi politik yang menghebohkan. Bukannya menjernihkan kasus, sidang justru dipenuhi kesaksian yang saling bertolak belakang, kekurangan bukti forensik yang krusial, dan dugaan kuat manipulasi data.
Keempat saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan belum pernah melihat ijazah asli terdakwa. Ini sangat mengkhawatirkan, apalagi uji forensik terhadap ijazah dan tanda tangan—bukti paling penting—belum dilakukan hingga saat ini! Saksi kunci, H. Lalu Muhammad Irwan Syaihu, mantan Kepala Kantor Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga, bahkan mencabut beberapa pengakuannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Apakah ini pertanda adanya tekanan atau upaya untuk mengaburkan fakta?
Ijazah pembanding yang diajukan JPU pun jauh dari memuaskan. Bukannya berasal dari Yayasan Pondok Pesantren Assyafi'iyah NW Penangsak yang menerbitkan ijazah terdakwa, ijazah tersebut milik yayasan lain. Lebih mengejutkan lagi, fotokopi ijazah yang digunakan pelapor untuk membuat laporan polisi ternyata diperoleh dari SIPOL (Sistem Informasi Politik) dan dicetak di rumahnya. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keamanan data dan potensi pelanggaran akses rahasia negara. Apalagi, lembaga yang disebut dalam ijazah (ASD) belum terdaftar di Bakesbangpoldagri!
Kejanggalan semakin menguat dari pengakuan pelapor sendiri. Ia mengaku tak mampu membedakan ijazah asli dan palsu, belum pernah melakukan klarifikasi ke yayasan penerbit ijazah, dan hanya mendasarkan kecurigaan pada perbedaan penulisan dan NIP. Menariknya, ia juga mengaku tak memiliki kerugian materiil, mengklaim motifnya hanya untuk "mengungkap kejujuran dan kebenaran"—sebuah pernyataan yang menimbulkan kecurigaan akan motif tersembunyi.
Saksi dari KPU, Lalu Sopan Tirta Kusuma, menegaskan bahwa akses SIPOL sangat terbatas dan dokumen di dalamnya bersifat rahasia. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan kebocoran data dan potensi manipulasi informasi. Bagaimana pelapor bisa mengakses data rahasia tersebut? Apakah ada pihak lain yang terlibat?
Kesaksian H. L.M. Irwan Syaihu pun penuh teka-teki. Ia membantah kesamaan tanda tangannya pada ijazah terdakwa dengan dokumen lain, mengakui perubahan sedikit pada tanda tangannya selama bertahun-tahun, dan mengaku tidak pernah dimintai contoh tanda tangan untuk uji forensik. Apakah ini menunjukkan adanya upaya untuk menghilangkan jejak?
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fajar Said tetap berkeyakinan tuntutannya terbukti, mengatakan nama terdakwa tidak terdaftar dalam database Dikbud Provinsi. Namun, Kuasa Hukum Terdakwa, Burhanudin SH, menilai kesaksian saksi-saksi sangat lemah dan janggal, mencurigai adanya permainan politik di balik kasus ini, dan menyebut terdakwa sebagai korban ambisi politik. Ia bahkan berjanji akan menyelidiki kebocoran data dari SIPOL.
Sidang akan berlanjut pada 16 Januari 2025. Publik menantikan terungkapnya fakta-fakta baru yang dapat menguak misteri di balik kasus ijazah palsu ini. Aroma konspirasi dan politik praktis begitu kental terasa, mengantarkan pertanyaan besar: apakah ini murni kasus ijazah palsu, atau ada permainan politik yang lebih besar di baliknya?
(Mamen)